Tanah Suci (bahasa Ibrani: ארץ הקודש; Eretz HaQodesh ; Arab: الأرض المقدسة Al-Ard Al-Muqaddasah; bahasa Latin: Terra Sancta) adalah istilah yang merujuk pada wilayah geografis di Levant yang penting bagi agama Yudaisme, Kekristenan (baik Katolik maupun Ortodoks), Islam dan Bahá'í. Tanah Suci tidak memiliki batas yang pasti, dan kini secara kasar
meliputi wilayah Israel, Palestina, dan sebagian Yordania dan Lebanon. Tanah Suci telah menjadi tujuan peziarahan keagamaan sejak zaman dulu.
Menurut Alkitab Perjanjian Lama, tanah suci atau tanah perjanjian merupakan tanah
yang Allah janjikan kepada bangsa Israel sewaktu mereka berada di Mesir. Allah berjanji melalui Abraham dan keturunannya untuk memberikan tanah tersebut, yang
disebut tanah Kanaan. Janji tersebut tidak diberikan kepada Abraham dalam waktu yang
singkat, bahkan Abraham pun belum dapat mengklaim tanah itu menjadi
miliknya sewaktu ia hidup. Abraham dan keturunannya, termasuk bangsa
Israel, selalu menunggu penggenapan janji itu, agar hidup mereka yang
selama ini nomaden dapat segera berakhir.
Copas dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_Suci#:~:text=Menurut%20Alkitab%20Perjanjian%20Lama%2C%20tanah,tersebut%2C%20yang%20disebut%20tanah%20Kanaan.
Perang pecah antara Hamas dan Israel sejak 7 Oktober lalu. Ini menjadi eskalasi terbaru
dari konflik antara Israel dan Palestina.
Kelompok Hamas yang menguasai Gaza meluncurkan serangan besar-besaran ke
wilayah Israel Sabtu dua pekan lalu. Ini lalu dibalas Israel dengan
deklarasi perang, di mana Tel Aviv menyerbu Gaza dari berbagai sisi.
Namun konflik sebenarnya tak baru terjadi. Berikut rangkuman sejarah dan bagaimana kronologi awal dikutip
dari Al Jazeera.
Kronologi Awal Konflik
Konflik ini telah terjadi lebih dari 100 tahun. Tepat pada tanggal 2
November 1917.
Kala itu Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis
surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh
komunitas Yahudi Inggris. Surat tersebut memang singkat, hanya 67 kata namun isinya memberikan dampak
terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini.
Surat tersebut mengikat pemerintah Inggris untuk "mendirikan rumah nasional
bagi orang-orang Yahudi di Palestina" dan memfasilitasi "pencapaian tujuan
ini". Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di wilayah
yang 90% penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina. Mandat Inggris
dibentuk pada 1923 dan berlangsung hingga 1948.
Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi migrasi massal orang Yahudi.
Di mana terjadi gelombang kedatangan yang cukup besar pasca gerakan Nazi di
Eropa.
Dalam gelombang migrasi ini, mereka menemui perlawanan dari warga
Palestina. Warga Palestina khawatir dengan perubahan demografi negara mereka dan
penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada pemukim
Yahudi.
Meningkatnya Kekerasan
Meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab. Ini
berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939.
Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga
Palestina untuk melancarkan pemogokan umum. Ini menahan pembayaran pajak dan
memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan
meningkatnya imigrasi Yahudi.
Pemogokan selama enam bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris,
yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran
rumah. Hal itu menjadi sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap
warga Palestina hingga saat ini.
Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937. Ini dipimpin oleh gerakan
perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan
kolonialisme.
Pada paruh kedua tahun 1939, Inggris telah mengerahkan 30.000 tentara di
Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan,
rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal
tersebar luas.
Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi
dan membentuk kelompok bersenjata dan "pasukan kontra pemberontakan" yang
terdiri dari para pejuang Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus yang dipimpin
Inggris. Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara, senjata diimpor
secara diam-diam dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah,
paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel.
Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh.
Sebanyak 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang
dipenjarakan.
Resolusi PBB
Pada 1947, populasi Yahudi telah membengkak menjadi 33% di Palestina, namun
mereka hanya memiliki 6% lahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian
mengadopsi Resolusi 181, yang menyerukan pembagian Palestina menjadi
negara-negara Arab dan Yahudi.
Palestina menolak rencana tersebut karena rencana tersebut memberikan
sekitar 56% wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar
wilayah pesisir yang subur. Pada saat itu, warga Palestina memiliki 94%
wilayah bersejarah dan mencakup 67% populasinya.
Peristiwa Nakba
Sebelum Mandat Kekuasaan Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, paramiliter
Israel sudah memulai operasi militer. Ini menghancurkan kota-kota dan
desa-desa Palestina guna memperluas perbatasan Israel yang akan lahir.
Pada April 1948, lebih dari 100 pria, wanita dan anak-anak Palestina
dibunuh di desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem. Hal ini menentukan
jalannya operasi selanjutnya, dan dari tahun 1947 hingga 1949, lebih dari
500 desa, kota kecil dan besar di Palestina dihancurkan dalam apa yang oleh
orang Palestina disebut sebagai Nakba, atau "bencana" dalam bahasa Arab.
Diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh, termasuk dalam puluhan
pembantaian. Insiden ini juga membuat Gerakan Zionis menguasai 78% wilayah
bersejarah Palestina. Sisanya yang sebesar 22% dibagi menjadi wilayah yang
sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.
Diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Saat ini keturunan mereka hidup sebagai 6 juta pengungsi di 58 kamp
pengungsi di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga seperti
Lebanon, Suriah, Yordania dan Mesir.
Pada 15 Mei 1948, Israel mengumumkan pendiriannya. Keesokan harinya, perang
Arab-Israel pertama dimulai dan pertempuran berakhir pada Januari 1949
setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania, dan
Suriah.
Pada bulan Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 194. Ini
menyerukan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina.
Setelah Nakba
Setidaknya 150.000 warga Palestina tetap tinggal di negara Israel yang baru
dibentuk dan hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol ketat selama
hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan
Israel.
Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai
pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat. Lalu, pada tahun 1964,
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai
politik Fatah didirikan.
Perang 6 Hari
Pada 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina,
termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan
Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang 6 Hari melawan koalisi
tentara Arab. Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan
paksa kedua, atau Naksa, yang berarti "kemunduran" dalam bahasa Arab.
Pada Desember 1967, Front Populer Marxis-Leninis untuk Pembebasan Palestina
dibentuk. Selama dekade berikutnya, serangkaian serangan dan pembajakan
pesawat oleh kelompok sayap kiri menarik perhatian dunia terhadap
penderitaan rakyat Palestina.
Pembangunan pemukiman dimulai di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki.
Sistem dua tingkat diciptakan di mana pemukim Yahudi diberikan semua hak dan
keistimewaan sebagai warga negara Israel sedangkan warga Palestina harus
hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang
segala bentuk ekspresi politik atau sipil.
Intifada Pertama
Intifada atau yang berarti perlawanan dalam Bahasa Arab dilakukan Palestina
pertama kali di Jalur Gaza pada Desember 1987. Ini terjadi setelah empat
warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van
yang membawa pekerja Palestina.
Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat dengan pemuda Palestina
melemparkan batu ke tank dan tentara Israel. Hal ini juga menyebabkan
berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat
dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.
Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan "Patah Tulang
Mereka" yang dianjurkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin.
Aksi ini mencakup pembunuhan mendadak, penutupan universitas, deportasi
aktivis, dan penghancuran rumah.
Intifada terutama dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan
Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang
berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan
Palestina. Intifada ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal,
pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama
komunal.
Menurut organisasi hak asasi manusia Israel B'Tselem, 1.070 warga Palestina
dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Lebih
dari 175.000 warga Palestina ditangkap. Intifada juga mendorong komunitas
internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.
Perjanjian Oslo
Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993
dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara,
pemerintahan mandiri terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur
Gaza.
PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif
menandatangani perjanjian yang memberi Israel kendali atas 60% Tepi Barat,
serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.
PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang
menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya
di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi.
Kritik terhadap PA memandangnya sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan
Israel yang bekerja sama erat dengan militer Tel Aviv dalam menekan
perbedaan pendapat dan aktivisme politik. Pada tahun 1995, Israel membangun
pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, menghentikan
interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.
Intifada Kedua
Intifada kedua dimulai pada 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi
Partai Likud Israel, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke
kompleks Masjid Al Aqsa. Saat itu, ribuan pasukan keamanan dikerahkan di
dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.
Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel menewaskan
lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari. Insiden ini
memicu pemberontakan bersenjata yang meluas.
Selama Intifada, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi
sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina. Israel
menduduki kembali wilayah yang diperintah oleh PA dan memulai pembangunan
tembok pemisah yang seiring dengan maraknya pembangunan pemukiman,
menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.
Pemukim Yahudi pun juga mulai bermukim secara ilegal di wilayah itu. Ruang
bagi warga Palestina semakin menyusut karena jalan-jalan dan infrastruktur
yang hanya diperuntukkan bagi pemukim Yahudi ilegal itu.
Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi
tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya
mencapai lebih dari 700.000 orang di lebih dari 100.000 hektar tanah yang
diambil alih dari Palestina.
Perang Saudara
Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004. Setahun kemudian,
Intifada kedua berakhir, permukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan
tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah kantong tersebut.
Setahun kemudian, warga Palestina memberikan suara dalam pemilihan umum
untuk pertama kalinya. Hamas memenangkan mayoritas. Namun, pecah perang
saudara Fatah-Hamas yang berlangsung berbulan-bulan dan mengakibatkan
kematian ratusan warga Palestina.
Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah kembali menguasai sebagian
Tepi Barat. Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara
dan laut di Jalur Gaza, menuduh Hamas melakukan "terorisme".
Serangan Israel ke Gaza
Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza
yakni di tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah
terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan
gedung perkantoran telah hancur.
Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut
menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai
Gaza. Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang
secara internasional, seperti gas fosfor.
Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100
warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama
serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah
hancur dan setengah juta orang mengungsi.
Copas dari
https://www.cnbcindonesia.com/news/20231016071343-4-480765/ini-sejarah-panjang-konflik-israel-palestina-awal-kronologi
No comments:
Post a Comment
Yang Sopan yang Sesuai dengan UU ITE